(Puisi esai ini terinspirasi dari cerita driver ojek online perempuan yang sering mengalami diksriminasi karena jenis kelaminnya)
***
Mentari pagi masih enggan terbit di ufuk Timur,
Cahayanya masih setia memeluk malam.
Semerbak bau tanah bekas hujan semalam,
Menusuk tajam ke permukaan rongga hidung.
Perempuan berjaket hijau itu,
ingin medahului pagi.
Pada mentari pagi ia berharap,
Menggantungkan asa kehidupan.
Di atas dipan beralas tikar anyaman bambu,
Kedua malaikat kecilnya tertidur pulas.
Pada pipi kedua anaknya,
jemari keriputnya ia elus-eluskan, penuh kelembutan.
“Tidurlah, Nak. Ibu akan selalu melindungimu.
Tak akan kubiarkan lapar mendekatimu,” batinnya.
Di dapur, tersisa secentong nasi,
Ditanaknya dengan garam.
Telur dadar dibelah tiga,
Untuk ia dan kedua putrinya.
***
Sutinah, perempuan berusia 30 tahun.
Barisan kerutan di wajahnya menyerupai pasukan perang badar.
Ia tampak 10 tahun lebih tua,
Kulitnya hitam, legam, keriput,
Jelas jauh dari standar kecantikan.
Berbekal motor butut peninggalan almarhum suaminya,
Ia melayangkan formulir pendaftaran,
menjadi driver ojok online (ojol).
Dua bulan sudah ia jalani profesi barunya,
sejak matahari belum terbit,
hingga tenggelam di sisi Barat.
Kakinya sudah di kepala,
Kepala sudah di kaki.
Hatinya setegar batu karang,
berteman terik mentari,
memeluk derasnya gempuran air hujan.
Saban malam, ia bersihkan motornya,
mengecek semua onderdilnya.
Ingin ia pastikan keselamatan diri dan calon penumpangnya.
Karena jalan Jakarta lebih sering tak bersahabat,
Kepada perempuan terutama.
“Mpok, aku berangkat ya.
Titip Nina dan Nana.
Makan paginya ada di meja.”
Begitulah ritual pagi Sutinah.
Menitipkan kedua buah hatinya pada Mpok Alpa, tetangganya.
***
Sutinah menyandarkan harapan di depan Mall Jakarta Selatan.
Berkali-kali ia melirik ponselnya,
Berharap orderan masuk untuknya.
Bagai embun menyelimuti malam,
Jarum jam sudah berputar 2 X 60 menit,
Orderan yang ditunggu tak kunjung tiba.
Di layar HP nya hanya ada kata “cancel”,
Berkali-kali, berhari-hari.
“Kenapa ya aku dicancel terus?
Aku kan sudah memenuhi semua persyaratan menjadi drivel ojol.
Aku juga rajin mencari penumpang,
Pagi sampai malam,” Sutina penasaran.
Kegundahan mulai menghampiri Sutinah.
“Duh Gusti, penumpang kok sepi amat.
Mau makan apa anak-anakku hari ini kalau aku nggak narik?”
Perempuan itu mulai mengadu,
Pada Sang Penentu skenario kehidupan.
Setelah menyeka butiran keringat di dahinya,
Sutinah menggantungkan harapan di sudut ibukota lainnya, di keramaian kota Jakarta.
Kali ini, di depan pusat perkantoran,
Berharap bertemu cahaya kehidupan,
Sebungkus-dua bungkus makan siang, cukup baginya.
Kembali ia lirik layar ponselnya.
Kembali ia menemukan satu kata kutukan baginya.
Cancel, cancel, cancel.
20 kali sudah ia ditolak,
Hanya dalam hitungan sebulan.
Sutinah meradang.
Kali ini, ia mantap mencari tahu asal-muasal kenapa ia dicancel.
Di kolom chat aplikasi ojol,
Ia tanyakan kepada calon penumpangnya.
“Maaf Bu, saya cancel ya. Saya ragu kalau drivernya perempuan,” kalimat itu terpampang jelas di layar ponselnya.
“Mbak, mau nggak saya yang boncengin?
Saya enggak enak kalau dibonceng perempuan.
Kalau nggak mau, terpaksa saya cancel,” alasan lain dari calon penumpangnya.
Di langit, petir saling beradu cepat,
Secepat denyut jantung Sutina.
Kini, pertanyannya terjawab sudah.
“Oh, karena aku perempuan, maka aku dicancel.”
apa salahnya menjadi perempuan?
Apa hubungan perempuan dengan menjadi driver?
Bukankah yang dibutuhkan driver ojol adalah keahliannya,
bukan pada vagina, ruang suci, saksi nafas manusia pertama diembuskan?
***
Malam perlahan menyelimuti ibukota,
Dinginnya merasuk jiwa,
Menembus dalam, pada jiwa kokoh perempuan itu.
Sutina tak jua pulang memeluk malam,
meski ia ingin segera mendekap malaikat kecilnya,
Ia dipanggil menghadap ke kantor ojol mitra kerjanya.
“Bu Sutina, di sistem tercatat,
dalam bulan ini, sudah 20 kali ibu dicancel konsumen.
Ini performa yang buruk bagi perusahaan kami,”
Tegas Pak Ali, lelaki berambut klimis, bagian Public Relation di perusahaan driver ojol tempat Sutinah bermitra.
“Saya juga tidak mau dicancel, Pak,
Karena dapur harus terus mengepul.
Saya pun bingung kenapa sering dicancel hanya karena saya perempuan,” Perempuan itu membela diri.
Tak mau ia membiarkan tubuhnya jadi alat diskriminasi, bertubi-tubi.
Wajah Pak Ali datar. “Peraturan di perusahaan kami menyatakan: driver dengan 15 kali cancel dalam sebulan, berarti tidak dapat diperpanjang kemitraannya.”
Tak mungkin menulis di atas air,
Keputusan Pak Ali sudah bulat.
Ia memutus hubungan kerja dengan mitranya, Sutinah.
Hati Sutinah hancur,
melebihi serpihan-serpihan pecahan gelas kaca.
Mustahil ia rangkai sempurna kembali,
meski diganti dengan gelas berlapis emas.
Sutinah tak pernah meminta menjadi perempuan.
Tak juga ia bercita-cita menjadi miskin.
Yang ia tahu,
Tak ada makan siang gratis untuknya.
Yang ia tahu,
Kedua buah hatinya menyandarkan harapan padanya.
Berharap ibunya pulang menggenggam recehan,
Agar indahnya mentari esok pagi,
masih menyinari tubuh mungilnya.
RS Hermina Depok, 24 Januari 2025
CATATAN