(Terinspirasi dari Mahakarya Randai 3, teater “Perjuangan Siti Manggopoh”, 11 Januari 2024, di Gedung Perfileman H. Usmar Ismail)
Tanah Minang bergetar,
Penjajah terus melancarkan aksinya.
Tak habis-habis muslihatnya,
Setelah tanam paksa,
Terbitlah pungutan pajak menghantam kaum papa.
Maret 1908 *(1) bumi Minang kembali menangis,
dengan luka pajak yang menghujam hati.
Tanah, air, dan harta milik rakyat, Ingin dikuasainya.
Kezaliman itu t’lah menabuh genderang perlawanan,
di jiwa-jiwa yang lama bisu dan lena.
Bukan si jantan yang memulai,
tapi perempuan.
Bukan yang bermahkota emas berkilauan,
melainkan padusi*(2) biasa,
berkain sarung, bertingkuluak*(3) rapi di kepala.
Mereka petani, tangan kasar yang tak kenal buku,
tapi hati mereka penuh ilmu.
Kepekaan dan keberanian,
menjadi suluh dalam kegelapan.
Tak rela mereka tunduk diinjak-injak,
tak sudi tanah nenek-moyang tergadai,
tak ingin negeri tertawan,
untuk anak cucu yang belum lahir ke dunia.
“Kito alah lamo diinjak-injak, disiksa, Uda!
Banyak padusi alah diperkosa.
Uda*(4), kito harus malawan!”
Suara perempuan itu bagai gemuruh di lereng Singgalang,
menggelegar, menampar keraguan suaminya.
Dialah Siti Manggopoh,
bukan nama bangsawan.
Ia perempuan biasa,
dengan keberanian melampaui takdirnya.
Mande*(5) Siti, nama aslinya.
Ia bukan hanya Ibu bagi anaknya,
namun juga Ibu bagi negerinya.
Di setiap langkahnya,
terselip doa dari bumi yang ia bela.
Baginya, tanah Minangkabau bukan sekadar tanah,
tapi rahim yang memelihara kehidupan.
Air dan buminya adalah warisan,
bukan untuk mereka yang datang sebagai penjajah.
Malam begitu pekat, di bawah langit kelam,
Siti berdiri bersama 14 pemuda pemberani.
Di surau tua, rumah Allah nan agung,
sumpah mati diikrarkan.
Keris dicabutnya,
dikibar-kibarkannya di bawah langit pekat,
“Kita sudah bersumpah, mari kita akan berjuang sampai mati,” Siti mengaung.
Tak ubahnya singa betina yang mencari mangsa.
Namun Siti tetaplah Ibu seorang anak manusia.
Sambil menyanyikan lagu nina bobo, Siti membatin:
“Maafkan Ibu anakku.
Ibu sangat menyayangimu,
Selalu ingin menjagamu, di sampingmu.
Tapi Ibu juga harus menjaga bumi Minang ini,
Dari kezaliman dan kebiadaban.
Ibu harus melawan penjajah itu,
Tanah Minang ini harus merdeka.
Supaya kelak kau besar,
Kau bisa menghirup udara tanah Minangkau nan indah.”
Hari perlawanan tiba.
Tak ada lagi yang bisa menahan.
Kamis malam, 15 Juni 1908 M,
Siti mantap menyusup ke markas benteng pertahanan Belanda.
Seorang diri ia di sana,
Menantang maut tanpa gentar,
di tengah barisan pasukan bersenjata lengkap.
Sedikit pun tak ciut hatinya.
Siti menyala, membara.
Memporak-porakda markas penjajah.
52 tentara Belanda dibunuhnya.
Perjuangan memang selalu butuh pengorbanan.
Ibu bumi itu harus membayar mahal perjuangannya,
terpisah dari suami dan bayi mungilnya.
Siti ditangkap dan dibuang ke Padang Pariaman.
Menyesalkan Siti? Tidak!
Ia telah menjadi khalifah di bumi Minang,
Menjadi “Ibu bumi” bagi negeri.
Tugasnya telah ia tunaikan.
Tingallah kita mengenang jasanya,
terus nyalakan obor keberanian,
lanjutkan perjuangannya!
*Puisi esai ini dibuat dengan bantuan AI
CATATAN KAKI
(2) Padusi: perempuan
(3) Tingkuluak adalah penutup kepala khusus perempuan yang terbuat dari kain yang dibentuk menjadi selendang panjang. Tingkuluak memiliki
berbagai jenis dan bentuk, sesuai dengan penggunaannya dalam tradisi adat Minangkabau
(4) Uda: panggilan untuk saudara laki-laki lebih tua
(5) Mande: panggilan untuk ibu