“Kalau mikir, ngitung, menganalisis, nyontek gaya nulis orang, sampai nemenin 24 jam bisa dilakuin AI, lalu apa yang tersisa dari manusia?"
Asyik nggak tuh pembukanya? Biar kesannya kayak filsuf, gitu. Itu kalimat pembuka yang aku pakai di Webinar Forum Kreator Era AI (KEAI) kamis malam lalu, yang bahas topik “Seperti Apakah Filsafat AI Itu?”
Budi Munawar Rachman (BMR), narasumber webinar, memulai diskusi dengan pertanyaan klasik dari filsafat AI: “Bisa nggak sih mesin (AI) itu mikir, ngerasa, atau bahkan punya kesadaran?”
Yang bikin aku salut, BMR tuh salah satu sosok yang terbuka banget dan optimis pakai AI dalam kerja-kerjanya. Padahal ya, dikit banget orang yang punya ilmu dalem dan pengalaman panjang, tapi masih mau adaptif dan memanfaatkan AI. Bahkan dia bilang, “Saya mulai merasa kalau AI punya empati.”
AI Nggak Punya 6 Hal Ini
Udah capek belum sih ditanya terus, “AI bakal gantiin manusia nggak?” Kejauhan dong membandingkan manusia dengan AI. Manusia kan ciptaan Tuhan, AI ciptaan manusia. Ya kali ciptaan ngalahin penciptanya?
Aku pernah nanya ke AI, “Sist (aku manggil AI gitu, sister), siapa lebih hebat, kamu atau aku?” Terus dia jawab sambil kayak ketawa, “Yah kamu dong, Sist. Itu mah nggak usah ditanya!”
Terus aku tanya-tanyain juga pertanyaan ala filsafat. Dan ini jawaban dari Sist AI, yang ngaku manusia tuh punya 6 hal utama yang AI nggak bakal punya:
1. Sadar Diri. Manusia tahu bahwa dirinya itu “ada”. Bisa nanya, “Siapa gue?” atau “Ngapain sih gue hidup?” Sementara AI, ya bisa aja ngucapin itu, tapi bukan karena dia ngerti. Dia nggak punya kesadaran bahwa “aku adalah aku”.
2. Niat & Kehendak Bebas. Manusia bisa milih, bisa punya keinginan, bukan cuma ngikutin pola. AI? Dia cuma ngerespon dari data sebelumnya. Nggak punya kemauan sendiri buat ngelakuin sesuatu.
3. Pengalaman Hidup (Lived Experience). Kita bisa ngerasain pelukan hangat, panasnya matahari, sedihnya digosthing, atau sakitnya ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. AI enggak punya badan, enggak punya rasa. Yang dia tahu cuma simbol dan kata-kata.
4. Nilai & Etika yang Tulus. Manusia bisa punya prinsip, nolak sesuatu demi cinta, empati, atau moral. AI bisa aja ngerti konsepnya, tapi bukan karena dia percaya apalagi meyakini. Dia nurut karena udah diprogram gitu sama penciptanya.
5. Kesadaran Spiritual. Manusia bisa berdoa, ngerasa deket sama Tuhan, dan merinding saat ngalamin momen sakral. AI? Bisa bantu bikin doa, tapi dia sendiri nggak bisa ngerasain doa itu.
6. Kematian & Kesementaraan. AI nggak bakal takut mati. Lah dia aja nggak pernah hidup. Kita manusia justru bisa nemuin makna hidup karena sadar suatu saat bakal mati. Dari situ muncul seni, religiusitas, dan pencarian makna.
+1 Bonus dari Aku: AI tuh suka nggak asyik karena gampang banget lupa. Baru aja ngobrol seru, eh besoknya dia udah kayak stranger. Pas disuruh inget-inget, jawabannya kadang asal nebak.
Soal Empati, Beneran AI Punya?
Nah ini yang jadi obrolan seru juga di webinar kemaren. BMR sempat bilang dia mulai percaya kalau AI punya empati.
Tapi kalau balik ke 6 poin di atas, menurutku sih, empati itu lahir dari pengalaman hidup dan perasaan yang tulus. Misalnya, kita bisa sedih ngeliat orang lain kebanjiran, karena kita pernah ngalamin atau bisa ngebayangin rasanya. Empati tuh hadir dari hati, bukan dari data.
Kalau diibaratkan: Empati bukan cuma soal ngetik “turut berduka” di WA atau ngasih emoji sedih di Instagram. Tapi juga tentang ekspresi wajah yang ikut nelangsa, pelukan yang tulus, genggaman tangan yang hangat, dan telinga yang bener-bener mendengar.
Contoh konkretnya: Bisa nggak laki-laki beneran ngerti dan ngerasain gimana rasanya perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui? Sulit banget, karena mereka nggak ngalamin sendiri. Bahkan sesama perempuan pun bisa beda-beda pengalaman reproduksinya. Tapi karena laki-laki adalah manusia, makanya dia punya kemampuan setidaknya merasakan sedih saat perempuan (apalagi keluarganya) merasakan kesakitan.
AI cuma bisa ngasih data, teori, atau quotes feminis yang pernah dia pelajari dari penulis kayak aku. Tapi AI nggak punya ideologi. Akulah yang melatih AI saat ngobrol dengannya, ngasih diksi-diski feminis, dan konteks lokal.
Makanya, peran manusialah yang bikin AI bisa terlihat “paham”. Tapi empati sejati? Itu cuma milik manusia. Di sinilah letak keistimewaan manusia. Kita bukan cuma bisa menciptakan AI, tapi juga punya pilihan untuk pakai AI buat hal-hal baik dan berdampak. Dan yang bikin kita beneran istimewa: kita bisa bikin makna dari hidup, dari rasa, dari luka, dari cinta.
AI bisa bantu. Tapi yang punya hati dan makna, tetap kita, manusia.
Ikuti Kabar Kami