Dokumentasi Kegiatan Literasi Kebhinnekaan Generasi Literat
Minggu lalu menjadi pengalaman "Hang Out Kebhinnekaan" yang sangat istimewa bagiku. Bersama teman-teman @generasiliterat, kami mengunjungi Komunitas Eden, salah satu komunitas spiritual non agama di Jakarta, yang didirikan oleh alm. Lia Aminuddin, atau lebih dikenal dengan nama Lia Eden.
Dari depan rumah, untaian bunga-bunga Indah merambat di Pagar. Begitu pun penampakan di lantai dua. Suara air di kolam kecil teras rumah mengalir Indah dan terdengar "sopan" di telinga. Ikan warna-warni berenang di dalamnya, saling menyapa, tak ada yang saling mengusik. Tenang, sejuk, damai.
"Surgaku adalah rumahku". Kalimat itu terpampang jelas di atas kayu yang tergantung depan pintu masuk rumah. Begitu masuk, ruangan tampak estetik dengan macam-macam hiasan yang terbuat dari bunga alami yang sudah kering, diwarnai cat warna-warni, juga berbagai macam hasil kerajinan tangan dari kayu jati, batu, dan serpihan kain. Semuanya dari alam. Tidak berlebihan jika rumah eden ini lebih cocok disebut art gallery atau museum.
Rupanya, Lia Eden adalah pecinta seni. Ia membuat sendiri beberapa hiasan di rumah ini dengan memanfaatkan bahan alami dan barang-barang bekas. Keahlian ini, sejak awal, ia ajarkan ke pengikutnya, sebagai salah satu modal hidup yang bisa menghasilkan nilai ekonomis.
Di rumah yang asri, Indah, dan penuh kehangatan itu, kami saling membuka pikiran dan hati untuk berkenalan dan memahami satu sama lain. Kami mendengar mereka bicara tentang apa dan bagaimana Tuhan, cinta-kasih, dunia, dan surga. Tak ada kata "neraka" di sana.
Pak Rachman-aku memanggilnya Kak Rachman sebab kami sesama alumni UIN Jakarta dan pernah tergabung dalam Forum Mahasiswa Ciputat (Ciputat)-adalah generasi pertama pengikut Komunitas Eden, dan sangat dekat dengan Bunda Lia Eden. Ia juga sempat dipenjara tiga tahun-lebih lama dari masa tahanan Lia Eden- dengan tuntutan pasal penodaan agama.
Spiritualitas Non Agama
Sederhananya, kata "Eden" diambil dari Kitab kejadian (taman eden) yang berarti "surga". Eden bukan agama, tapi komunitas spiritualitas. Setiap penganut Eden percaya bahwa hubungan Tuhan dan manusia bersifat langsung, tanpa perantara. Sehingga tak perlu ada formalitas agama, kitab, atau rumah ibadah tertentu untuk bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Eden mengedepankan pengalaman esoteris (di dalam batin/jiwa) bukan eksoteris (bersifat lahiriah/eksternal).
Eden tidak disebut agama sebab bagi Komunitas ini, agama justru memberi sekat dan penghalang antar manusia. Dalam banyak sejarah, agama seringkali dijadikan alat pembenaran untuk berkonflik hingga di titik berdarah-darah, bahkan menelan korban jiwa.
Lalu di mana posisi Lia Eden, pendiri Komunitas Eden? Menurut Pak Rachman, Lia Eden-penganut Eden memanggilnya dengan sebutan Paduka Bunda Lia- salah satu pembawa risalah. Ia dipercaya menjadi perantara turunnya wahyu dari Tuhan.
Makan Siang ala Resto
Setelah berdialog santai, kami diajak ke lantai dua untuk makan siang. Hari itu, bertepatan dengan hari ulang tahun salah satu penganut Komunitas Eden. Lagu ucapan Selamat ulang tahun kami dendangkan. Kami pun dapat berkahnya: makan nasi tumpeng dan kue ulang tahun.
Bukan duduk melantai-seperti yang biasa kami lakukan di Hang Out Kebhinnekaan sebelum-sebelumnya-tuan rumah menjamu kami dengan istimewa. "Tamu Tuhan", begitu istilah penganut Eden menyebut siapa pun yang datang berkunjung, sehingga harus dilayani dengan sebaik-baiknya.
Meja makan yang tertata rapi, estetik, ditambah udara sejuk dari pohon yang merambat. Tak ubahnya kami makan di restoran mahal semi outdoor yang ada di Jakarta. Suasana semakin hangat dengan pelayanan maksimal dari tuan rumah. Tak henti-hentinya mereka mengantarkan aneka makanan: es kelapa, kue, buah, dan lainnya.
Sambil makan, kami ngobrol santai. Teman-teman muda peserta Hang
Out Kebhinnekaan, yang datang dari berbagai kampus dan komunitas, terlihat antusias bertanya ini-itu ke tuan rumah. Aku pun begitu. Pak Rachman dengan santai menceritakan dan menjawab semua pertanyaan yang datang.
Salah satu yang unik, dan menurutku luar biasa, di rumah eden ini tinggal 18 orang dari beberapa keluarga yang berbeda. Sebagian menikah dan lahir di rumah ini. Tapi mereka bisa hidup komunal, saling membantu, saling menghidupi. Setelah kepergian Lia Eden, tak ada lagi proses pengangkatan pemimpin. Sehingga tak ada yang lebih tinggi di antara pengikut Eden. "Semua setara", tegas Pak Rachman.
Dari mana pendapatan mereka untuk biaya hidup? Seperti yang aku sebutkan di atas, sejak awal komunitas ini berdiri, Lia Eden telah mempersenjatai pengikutnya untuk bisa bertahan hidup melalui karya seni dan pembuatan kue-kue. Komunitas Eden memiliki unit bisnis homemade, yang dikelola oleh 18 orang yang tinggal di rumah ini.
Belakangan, seiring mulai berkembangannya bisnis ini, bukan hanya penganut Eden yang mengelola, tapi juga mulai terbuka untuk orang lain yang ingin membantu "di dapur". Mereka biasanya adalah mahasiswa atau anak-anak muda yang punya ketertarikan pada isu interfaith. Mereka yang bergabung, akan mendapatkan fee sesuai ketentuan yang disepakati.
Acara Hang Out Kebhinnekaan yang biasanya berlangsung hanya empat jam, kali ini molor sampai tujuh jam. Kehangatan, cinta, dan kedamaian di Rumah Eden membuat kami lupa waktu. Rumah ini seperti surga yang digambarkan di dalam agama-agama: air mengalir, tumbuhan dan pohon yang indah, makanan yang enak, dan bidadari-bidadara yang penuh kehangatan dan cinta.
Ternyata, untuk sampai ke surga, tak perlu jauh-jauh, dan tak perlu menunggu mati dulu. Sebelum mati, upayakanlah ke surga dunia di jalan Mahoni, Senen, Jakarta Pusat.
Depok, 25 April 2025
Ikuti Kabar Kami