Dokumentasi Pribadi Mila
Tujuh tahun lalu, saya membaca buku Edward De Bono, "6 Topi Pemikiran (Six Thinking Hat)", yang menjelaskan 6 metode berpikir kritis. Di mana topi-topi ini dapat membantu kita memosisikan diri untuk melihat, menganalisis, lalu merespons suatu hal, dalam satu waktu tertentu.
Saya teringat buku itu, setelah semarin sore bertemu lagi dengan Pak Sony Tan, di Cafe Hidden Gem miliknya (Komuka Cafe), di kawasan Cakung. Di sela-sela hari keluarganya, Ia rela menyempatkan waktu bertemu. Tentu saya sangat mengapresiasi ini.
Seperti biasa, Pak Sony selalu menyambut ramah, mempersilakan saya ke ruang meeting VIP-yang letaknya di antara kursi-kursi cafe lainnya, hanya tertutup dinding kaca- lalu dengan sopan ia meminta pelayan Cafenya untuk membawa daftar menu.
"Mau makan apa, Mil? Minumnya apa? Udah tahu kan apa favorit di sini," katanya dengan gaya santai.
Saya pilih salah satu yang enak, nasi goreng kecombrang dan es kopi latte.
Saya merasa, sambutan Pak Sony menempatkan saya seolah-olah "rekan bisnis" atau "pejabat" yang mau membicarakan uang milyaran hehe...
Tapi begitulah ia. Bukan hanya kepada saya. Pernah sebelumnya, saya datang bersama teman-teman Komunitas, dan sambutan Pak Sony sama saja. Saya kira, memang begitulah karakter Pak Sony: ramah, humble, royal berbagi Ilmu, open minded, dan mengapresiasi ide serta gerakan positif anak muda.
Obrolan pun dimulai. Ini juga kebiasaan saya setiap ketemu Pak Sony, ngobrol random, dari soal gerakan literasi, bisnis, tata kelola perusahaan, isu kekinian anak muda, sampai politik.
Soal politik, tak pernah ketinggalan dalam topik obrolan kami. Selain menjadi Direktur HR di salah satu perusahaan, juga pebisnis, Pak Sony cukup lama terlibat dalam urusan kepartaian, ikut mendukung kampanye salah satu partai politik (parpol) yang saat ini ada di pemerintahan-bahkan dulu pernah membentuk parpol- intens mengikuti perkembangan politik, namun ia tetap berada di luar pemerintahan.
"Gimana menurut Pak Sony dengan pemerintahan sekarang?", salah satu pertanyaan saya di obrolan kemarin.
Secara cepat ia jawab, "Menurut saya, so far masih on the track". Ia lalu menjelaskan alasannya.
Pertanyaan saya yang lain, "Gimana Pak Sony melihat partai yang sebelumnya didukung masuk ke pemerintahan? Apa mereka masih menjalankan cita-cita baik dan benar, yang yang dulu diperjuangkan? Pak Sony lalu menyampaikan pandangannya.
Kami pun berdiskusi. Saya mengambil contoh soal efisiensi anggaran. Di satu sisi, efisiensi anggaran seperti pemotongan anggaran perjalanan dinas, memangkas anggaran mewah untuk sebuah rapat di hotel, di mana ini membuka peluang pintu-pintu korupsi, adalah kebijakan yang baik.
Di lain sisi, efisiensi anggaran tampak tak berlaku di lingkaran pemerintah. Sebab semakin gemuk komposisi sumber daya manusianya, seperti makin banyak Wakil Menteri (Wamen) dan staf-staf lainnya, yang kabarnya dibayar dari APBN.
Hal lain, yang kami diskusikan soal "yang dulu mendukung, kini menjadi pembenci." Ini banyak terjadi di pendukung Jokowi dan Prabowo. Mereka yang dulu hampir "menuhankan" Jokowi dan "mem-fir'aun-kan" Probowo, kini berbalik. Mereka yang dulu terdepan mengkritik pemerintah, kini terdepan duduk di kursi-kursi kekuasaan. Tiba-tiba mereka menjadi calm, pendiam, introvert, you named it!
Topi Pemikiran
Dalam menilai sesuatu, usahakan melihat dari berbagai sisi, dengan berusaha menempatkan diri kita pada posisi dan kondisi orang tersebut.
Berbeda dengan metode "Helicopter View", Enam Topi Pemikiran Edward De Bono mengajak setiap orang dalam sebuah forum untuk melihat suatu masalah menggunakan 6 Topi yang sama secara bergantian.
Pertama, Topi Putih (Fakta & Informasi). Misalnya, kita bicara tentang hal positif dan negatif dari Artificial Intelegence (AI). Di topi ini, semua orang yang sedang berdiskusi akan fokus pada data, fakta, dan informasi objektif tanpa opini. Contoh: Dalam diskusi soal penggunaan AI di pendidikan, topi putih akan menyampaikan: “Data UNESCO tahun 2024 menunjukkan peningkatan 37% penggunaan AI dalam pembelajaran daring di Asia Tenggara.”
Kedua, Topi Merah (Perasaan & Intuisi). Kali ini, letakkan topi Putih, lalu semua peserta diskusi memakai topi merah. Mengungkapkan perasaan atau intuisi secara jujur, tanpa pembenaran logis. Contoh: “Saya merasa cemas kalau siswa terlalu bergantung pada AI karena mereka bisa jadi malas berpikir kritis.”
Ketiga, Topi Hitam (Kritis & Hati-hati) pada topi ini, semua peserta diskusi menyoroti risiko, potensi kelemahan, dan sisi negatif dari suatu ide atau keputusan. Contoh: “Kalau semua media pakai AI untuk menulis berita, bagaimana kita bisa yakin infonya tidak bias atau dimanipulasi?” Topi ini penting untuk menyeimbangkan optimisme.
Keempat, Topi Kuning (Optimis & Konstruktif). Kali ini, peserta diskusi diajak melihat peluang, sisi baik, dan manfaat dari suatu ide. Contoh: “Dengan AI, jurnalis bisa fokus investigasi mendalam, karena waktu editing dan transkrip jadi jauh lebih efisien.”
Kelima, Topi Hijau (Kreatif & Alternatif). Ketika semua orang menggunakan topi ini, mereka didorong mengeksplorasi ide baru dan pendekatan tak biasa. Contoh: “Gimana kalau kita bikin platform edukasi AI yang ngajarin anak muda menulis puisi dengan bantuan ChatGPT, tapi tetap otentik?”
Keenam, Topi Biru (Kontrol & Proses Berpikir). Pada topi ini, semua peserta diskusi memfasilitasi proses berpikir, merangkum, dan mengarahkan diskusi. Contoh: “Oke, kita udah bahas sisi positif dan negatif AI. Sekarang mari kita rumuskan rekomendasi kebijakan yang seimbang.”
Topi-topi ini pun bisa digunakan ketika mendiskusikan persoalan politik. Itu juga yang Pak Sony perlihatkan tadi. Saya melihat, ia berusaha menjelaskan kondisi orang-orang di dalam sistem pemerintahan. Menurutnya, sebagai orang luar, kita hanya melihat sedikit. Sementara masalah di dalamnya sangat kompleks. Ada banyak kepentingan yang harus dihitung, dipertimbangkan, dan diakomodir.
Mendengar Aktif
Sebagai masyarakat sipil yang tidak berpartai-setidaknya sampai saat ini- saya sampaikan ke Pak Sony tentang beberapa hal yang saya tidak setuju dengan pola pikir, serta kebijakan pemerintah dan kabinetnya (termasuk partainya), terutama yang dampak negatifnya nyata dirasakan masyarakat bawah.
Sementara Pak Sony berada pada posisi mendukung pemerintah dengan berbagai alasan. Meski begitu, saya lebih banyak mendengarkan penjelasan Pak Sony. Sesekali saya bertanya, menanggapi, mengkonfirmasi, dan memberi pandangan.
Ini juga yang saya suka dari Pak Sony, terbuka dan setara dalam berdiskusi. Kami berbeda pendapat dalam beberapa hal terkait bagaimana melihat sistem dan orang-orang di dalam pemerintahan saat ini. Namun kami bebas saja menyampaikan sikap, tak ada sedikit pun tekanan di dalamnya. Saya bisa menyampaikan pandangan berbeda sambil menikmati nasi goreng kecombrang.
Pak Sony menjelaskan banyak hal, dari berbagai perspektif, meski di beberapa bagian terkesan lebih emosional, terutama ketika bicara tentang orang-orang yang memanfaatkan jabatannya untuk "maling" uang rakyat.
Lebih banyak mendengar aktif membuat saya memiliki informasi lebih tentang "apa dan kenapa" di balik pemikiran Pak Sony. Dari situ, saya mengkonfirmasi maksud dari perkataannya, sehingga meminimalisir terjadinya misskomunikasi atau kesalahpahaman dalam memahami akar di balik sesuatu.
Pak Sony pun begitu. Terasa ia mendengar aktif ketika giliran saya berbicara. Tak sedikit pun terlihat wajahnya meremehkan, atau memotong pembicaraan. Dengan begitu, diskusi menjadi cair, kita bisa saling mendapatkan pengetahuan baru, dan tetap dalam situasi menyenangkan. Ini salah satu pembelajaran penting yang selalu saya "bungkus" setiap ngobrol dengan Pak Sony.
Saya kira, kita semua perlu mencoba memakai Enam Topi Pemikiran Edward De Bono, serta memperbanyak mendengar aktif ketika berkomunikasi dengan seseorang.
Terlebih ketika mengkomunikasikan persoalan bangsa yang sangat besar dan kompleks. Ini akan membantu kita agar tidak terburu-buru mengambil kesimpulan, menghakimi orang lain, apalagi membencinya dengan sumpah serapah. Lagi pula dalam politik, bukankah tak ada lawan dan kawan abadi?
Senin , 14 April 2024
Ikuti Kabar Kami